Pers: Husman
infojitunasional.com
Hadirnya Putusan MK Nomor: 12/PUU-XXII/2024 yang dalam putusannya menyatakan bahwa: anggota DPR, DPD, dan DPRD terpilih pada Pemilu 2024 menyatakan mengajukan pengunduran diri apabila dilantik sebagai anggota DPR, DPD, dan DPRD pada saat penetapan sebagai calon Kepala Daerah yang akan berkontestasi pada Pilkada. Putusan MK inipun menjadi payung hukum dengan ditindaklanjuti melalui PKPU Nomor: 2 Tahun 2024. Alasan paling mendasar diaturnya ketentuan tersebut adalah adanya potensi melekat pada anggota legislatif terpilih (apabila sudah dilantik) hak-hak konstitusional pada dirinya, yang berpotensi melekat terjadinya (dapat) penyalahgunaan kewenangan, serta gangguan kinerja jabatan.
Dengan demikian, diharapkan terselenggara pilkada yang berkeadilan dan terhindar dari praktik penyelenggaraan pilkada yang peserta kontestasinya diikuti oleh anggota legislatif terpilih pada potensi terjadinya penyalahgunaan kewenangan oleh yang bersangkutan, yang dapat menguntungkan dirinya sebagai peserta kontestasi pilkada.
Pada tataran ini dan guna membangun prinsip penyelenggaraan pilkada yang fairness, maka ketentuan wajib mundur bagi anggota DPRD (terpilih) adalah sebuah langkah demokratis yang harus dijunjung tinggi. Meskipun hal tersebut sempat menjadi polemik dan “sempat” membuat sebagian anggota DPRD (terpilih) “maju-mundur” untuk tampil sebagai bakal calon yang akan mengikuti kontestasi Pilkada 2024.
*KADA dan DPRD = PENYELENGGARA PEMDA
Penyelenggara Pemerintah Daerah merupakan dua unsur utama yaitu terdiri dari Kepala Daerah dan DPRD, yang menjadi satu, saling bersinergi yang menyelenggarakan Pemerintah Daerah sesuai dengan tupoksi, wewenang, kewajiban, dan tanggungjawabnya. Memperhatikan tiga fungsi utama dari DPRD dalam penyelenggara Pemerintahan Daerah yaitu legislasi (penyusunan perda), budgeting (anggaran), dan pengawasan, dan penyelenggaraan eksekutorial pemerintahan, baik struktur penyelenggara pemerintahan daerah, penggunaan anggaran, program pembangunan, dan bidang operasional lainnya, kewenangannya ada pada Kepala Daerah.
Tentu hadirnya kewenangan di satu sisi, memunculkan juga potensi penyalahgunaan kewenangan itu sendiri. Dalam perspektif kontestasi pilkada, potensi penyalahgunaan kewenangan juga dapat mengganggu kinerja Kepala Daerah dalam masa jabatannya, juga patut diduga dapat terjadi, bukankah selama ini kita mengenal ada kasus-kasus tertentu berupa politisasi birokrasi dalam pilkada, ada penggunaan dana APBD yang “disusupi” pencitraan sang petahana (incumbent: Kepala Daerah yang mencalonkan diri kembali) dan lain-lain, yang relatif kewenangan itu merupakan domainnya Kepala Daerah.
Tapi, Kepala Daerah yang akan maju kembali pada kontestasi pilkada (incumbent), tidak terkena aturan mundur dari jabatannya pada saat mengikuti kontestasi pilkada, adakah persamaan dihadapan hukum antara Kepala Daerah dengan anggota DPRD dalam mengikuti kontestasi pilkada?
*PERSAMAAN DIHADAPAN HUKUM
Belum dapat diukur secara kuantitatif, berapa jumlah Kepala Daerah (incumbent) yang kembali mengikuti kontestasi pilkada seluruh Indonesia (580 daerah kabupaten/ kota, 38 provinsi), karena saat ini belum memasuki tahapan penetapan pasangan calon.
Tetapi dari proses penjaringan yang dilakukan oleh partai-partai politik yang mempunyai keterwakilan/ kursi DPRD, tidak sedikit Kepala Daerah yang mengikuti proses penjaringan tersebut. Proses penjaringan juga ada beberapa inercircle dari incumbent satu tingkat baik kesamping (istri/ saudara kandung incumbent) maupun satu tingkat ke bawah (anak incumbent), yang juga sama-sama berpotensi “menggunakan” penyalahgunaan wewenang Kepala Daerah yang dapat menguntungkan dirinya. Apakah dugaan penyalahgunaan wewenang dari Kepala Daerah atau inercircle ini tidak perlu diantisipasi dengan PKPU untuk menjunjung tinggi fairness penyelenggaraan pilkada?
Salah satu prinsip dasar yang tertanam pada UUD 1945 sebagai landasan konstitusi bernegara adalah adanya pengakuan sekaligus pengaturan adanya kesamaan setiap warga negara di dalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum tersebut tanpa adanya pengecualian.
Hal ini sering disebut dalam bahasa bekennya, equality before the law, sebagaimana tertuang dalam Pasal 27 UUD 1945. Mempedomani prinsip dasar konstitusi Indonesia dalam perspektif menjunjung tinggi sikap fairness dalam pilkada serentak 2024 ini, sepatutnya bahwa Kepala Daerah yang akan maju kembali dalam kontestasi pilkada (incumbent) juga dibuatkan ketentuan yang diatur dalam PKPU dinyatakan wajib mundur sejak ditetapkan sebagai pasangan calon kepala daerah.
Juga tidak kalah pentingnya adanya pengaturan sekaligus pengawasan yang ketat kepada peserta kontestasi pilkada yang secara nyata merupakan inercircle Kepala Daerah yang sedang menjabat untuk tidak menikmati demi keuntungan dirinya sebagai peserta kontestasi pilkada, agar tidak menyalahgunakan wewenang serta kinerja Kepala Daerah.